A.
Judul
Penelitian
“PROGRAM BIMBINGAN BIDANG PRIBADI-SOSIAL UNTUK
MENINGKATKAN HARGA DIRI SISWA SMP NEGERI 43 BANDUNG (Studi
Deskriptif-Pengembangan Pada Siswa Kelas Viii Tahun Ajaran 2009/2010)”.
B.
Latar
Belakang Masalah
Manusia adalah
makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia memunculkan
perbedaan karakter antara satu dengan yang lainnya. Jangankan seseorang yang
lahir dari rahim yang sama, mereka yang mempunyai kembaran identik saja masih
dapat dibedakan melalui sifat-sifat non-fisik yang dibawanya. Keragaman atas
keunikan yang dimiliki manusia tersebut menjadi dasar bagi perlunya
optimalisasi potensi personal, sehingga terarah pada jalur yang benar,
normatif, sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat dimana dirinya berada.
Kajian terhadap
keunikan manusia mendorong munculnya pendidikan dalam arti luas yang diarahkan
untuk memfasilitasi tumbuh-kembangnya karakter-karakter unik yang positif
secara optimal. Dalam arti sempit, pendidikan yang diselenggarakan di sekolah
seyogianya menyediakan ruang bagi keunikan individu (siswa) untuk berkembang
optimal sehingga mampu menumbuhkan rasa
percaya diri tidak saja atas penilaiannya secara subjektif, tapi juga secara
objektif berdasarkan perspektif lingkungan masyarakat sekitarnya.
Rasa percaya diri
yang positif didorong oleh kondisi olah rasa penghargaan terhadap diri, baik
melalui pandangan personal maupun pandangan lingkungan terhadap diri individu
yang bersangkutan. Di sini harga diri menunjukkan peran yang signifikan dalam
optimalisasi keunikan individu. Keunikan individu, siswa dalam arti sempit,
dapat didorong dengan cara meningkatkan harga diri yang bersangkutan. Mana
mungkin seseorang akan tumbuh dengan keunikannya, bila dirinya tidak percaya
diri dan, bahkan lebih parah lagi bila lingkungan mengaggap remeh yang
bersangkutan tentu yang ada adalah perasaan rendah diri atau istilah tenarnya
di kalangan siswa disebut “minder”.
”Apalah arti sebuah harga
diri?”
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah jelas, berarti,
dan malah penting sekali dimiliki oleh individu dalam menjalani kehidupannya. Harga
diri (self-esteem) mengandung
pengertian ”siapa dan apa diri saya”. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
seseorang, selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu,
atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan mendapat masukan dari
orang lain dalam proses berinteraksi dimana proses ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan
nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain (Sriati, 2008).
Harga diri dalam pembicaraan sehari-hari lebih sering
dikaitkan dengan situasi tersinggung atau penghargaan terhadap diri maupun
orang lain yang dinilai melalui perilaku orang yang bersangkutan. Misalnya
ungkapan “Dia tidak punya harga diri”, atau “Nggak PD” (PD = percaya diri).
Ungkapan-ungkapan seperti ini memang tidak terlalu tepat dalam konteks
psikologi, namun tetap menggambarkan arti penting dari harga diri.
Harga diri itu sendiri
mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan
dalam sikap–sikap yang dapat bersifat positif dan negatif. Bagaimana seseorang
menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya
sehari–hari. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri,
penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa
kehadirannya diperlukan di dunia ini.
Seorang siswa
yang memiliki harga diri yang cukup positif, dia
akan yakin dapat mencapai prestasi yang dia dan orang lain harapkan. Pada
gilirannya, keyakinan itu akan memotivasi remaja tersebut untuk sungguh-sungguh
mencapai apa yang diinginkan. Sebaliknya, seorang remaja yang memiliki harga
diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak
berharga. Di samping itu remaja dengan harga diri yang negatif cenderung untuk
tidak berani mencari tantangan-tantangan baru dalam hidupnya, lebih senang
menghadapi hal-hal yang sudah dikenal dengan baik serta menyenangi hal-hal yang
tidak penuh dengan tuntutan, cenderung tidak merasa yakin akan pemikiran-pemikiran
serta perasaan yang dimilikinya, cenderung takut menghadapi respon dari orang
lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya
tidak bahagia.
Pada remaja yang memiliki harga diri negatif inilah
sering muncul perilaku negatif. Berawal dari perasaan tidak mampu dan berharga,
mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang, seolah-olah, membuat dia
lebih berharga. Misalnya, dengan mencari pengakuan dan perhatian dari
teman-temannya. Dari sinilah kemudian muncul penyalahgunaan obat atau
berkelahi, misalnya, yang dilakukan demi mendapatkan pengakuan dari
lingkungannya.
Tidak semua kompensasi harga diri negatif
menyebabkan perilaku negatif. Ada juga yang menyadari perasaan rendah diri
kemudian mengkompensasikannya melalui prestasi dalam suatu bidang tertentu.
Dalam hal ini, prestasi apapun yang dicapai, akan meningkatkan harga diri
seseorang.
Berkaitan dengan masa perkembangan remaja, hasil-hasil studi yang
panjang di berbagai negara menunjukkan bahwa masa yang paling penting dan
menentukan perkembangan harga diri seseorang adalah pada masa awal remaja. Pada masa
inilah terutama seseorang akan mengenali dan mengembangkan seluruh aspek dalam
dirinya, sehingga menentukan apakah ia akan memiliki harga diri yang positif
atau negatif (Tambunan, 2001: http://www.e-psikologi.com/remaja/240901-1.htm).
Tentu harapan semua pendidik
ingin tujuan pendidikan yang telah dicanangkan baik di tingkat nasional hingga
tingkat satuan sekolah ingin dicapai dengan sempurna. Dalam hal ini tidak
ketinggalan juga tujuan-tujuan pendidikan yang didistribusikan ke dalam
pelayanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah. Yang menjadi isi bagi
pencapaian tujuan BK yang dimaksud adalah Standar Kompetensi Kemandirian siswa.
Disebutkan bahwa dalam masalah pengembangan diri, peserta didik khususnya siswa
SMP diharapkan:
mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial (pengenalan), menerima
keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya (akomodasi), dan
menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman. Kemudian tentu saja
berhubungan dengan kesadaran gender, dimana seorang siswa diharapkan dapat berkolaborasi secara harmonis dengan lain
jenis dalam keragaman peran (Rambu-rambu Penyelenggaraan BK di Jalur Pendidikan
Formal, 2007).
Dalam buku Rambu-rambu
Penyelenggaraan Layanan BK di Jalur Pendidikan Formal (2007) dikatakan secara
khusus self-esteem (dalam penelitian
ini, Harga Diri) disebut pada urutan pertama sebagai materi yang baku dalam
pelayanan dasar, sehingga keberadaannya ”wajib” ada sebab menjadi dasar
pencapaian Standar Kompetensi Kemandirian siswa.
Sayang, pentingnya harga diri sebagai bagian dari kepribadian individu dalam
menjalani kehidupan bahkan secara eksplisit dijabarkan dalam buku Rambu-rambu
Penyelenggaran Layanan BK di Jalur Pendidikan Formal tidak menjadi perhatian
konselor di sekolah-sekolah termasuk di
SMP Negeri 43 Bandung.
Atau, katakanlah memang banyak pengembangan program-program bimbingan ke arah
peningkatkan Harga Diri siswa tetapi masih bersifat retorik – non-aplikatif dan
hanya menjadi pajangan di rak-rak buku saja.
Sehubungan dengan kondisi
itu, peneliti yang saat ini bekerja sebagai konselor sekolah SMP Negeri 43 Bandung, yang notabene belum memiliki katakanlah suatu bentuk perhatian
terhadap peningkatan harga diri siswa yang baik di sekolah, merasa berkewajiban
mengembangkan sebuah ”program bidang bimbingan pribadi-sosial
untuk meningkatkan harga diri para siswa” terutama untuk menjadi
lebih baik dan lebih postif diarahkan pada pencapaian prestasi akademik yang
optimal. Program yang dimaksud akan menjadi dasar bagi intervensi perlakuan
terhadap para siswa yang menjadi anggota bimbingan di sekolah dan lebih luas
dari itu diharapkan menjadi rujukan bagi konselor-konselor bahkan peneliti yang
merasa berkepentingan dengan program yang dikembangkan pada penelitian ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian
1. Batasan Masalah Penelitian
Uraian latar belakang
masalah yang telah diungkapkan sebelumnya secara aktual membatasi penelitian
ini pada pengembangan suatu program bimbingan bidang pribadi-sosial untuk meningkatkan harga diri siswa yang secara kontekstual ditujukan pada siswa
SMP Negeri 43 Bandung baik laki-laki maupun perempuan, khususnya mereka yang
berada di kelas VIII. Pemilihan
kelas VIII dilatar belakangi anggapan bahwa di lingkungan sekolah para siswa
tingkat ini berada pada situasi transisi adaptasi perilaku dari yang mulanya
penuh keengganan pada kelas VII dengan situasi bebas tertekan pada kelas IX –
bebas karena merasa paling tua; tertekan karena akan meninggalkan sekolah untuk
jenjang lebih tinggi atau tidak melanjutkan.
Secara konseptual,
penelitian ini dibatasi pada pengembangan program bimbingan bidang pribadi-sosial
yang didasarkan pada buku Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal yang dikeluarkan oleh Depdiknas 2007 khususnya pada
bagian Rambu-rambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Kemudian, konsep harga
diri
yang menjadi dasar pengembangan program yang dimaksud dalam penelitian ini,
dirujuk secara teoretik dari hasil kajian Bush tahun 1991 tentang harga diri (self-esteem)
yang lengkap secara
konsep, konstruk maupun pengukurannya.
2. Rumusan Masalah Penelitian
Hasil akhir dari penelitian
ini adalah sebuah program bimbingan bidang pribadi-sosial untuk meningkatkan harga diri
siswa SMP Negeri 43 Bandung, khususnya siswa kelas
VIII. Program ini
dikembangkan berdasarkan gambaran objektif yang diperoleh dari pengumpulan data
dari siswa sampel secara langsung beserta kajian teoretik yang mendalam tentang
harga
diri
remaja dari berbagai sumber yang relevan. Dengan demikian permasalahan utama
dalam penelitian ini adalah ”bagaimana bentuk program bimbingan bidang pribadi-sosial yang dapat meningkatkan harga diri siswa SMP
khususnya kelas VIII?”. Untuk
menjawab masalah itu, dibuat beberapa pertanyaan penelitian yang mengarahkan
pada jawaban terhadap permasalahan utama penelitian itu.
a.
Bagaimana
profil harga
diri
siswa kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung
tahun ajaran 2009/2010?
b.
Bagaimana gambaran
implementasi program kegiatan layanan bimbingan pribadi-sosial yang telah ada
selama ini di SMP Negeri 43 Bandung khususnya bagi pengembangan harga diri
siswa?
c.
Bagaimana
bentuk program bimbingan bidang pribadi-sosial untuk meningkatan harga diri siswa kelas VIII
SMP Negeri 43 Bandung tahun ajaran 2009/2010?
C.
Variabel
Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel utama penelitian ini adalah program bimbingan bidang pribadi-sosial dengan objek
kajian harga diri sebagai substansi materi intervensi terhadap subjek penelitian
yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung.
Untuk menghindari
kesalahpahaman dalam memahami masalah penelitian, maka istilah-istilah dalam
judul penelitian ini dijelaskan masing-masing batasannya secara operasional dalam uraian berikut.
Harga Diri siswa dibatasi sebagai keselarasan antara
rasa percaya diri (confidence) yang bersumber dari kualitas total
individu, dengan dorongan untuk mencintai diri (self-love) yang
bersumber dari pandangan (instrumental) lingkungan (munculnya batasan ini dikaji dalam bagian studi
pustaka/kajian teoretik pada proposal ini).
Dengan demikian, program bimbingan bidang
sosial-pribadi untuk meningkatkan Harga Diri siswa SMP Negeri 43 Bandung
merupakan suatu kerangka konseptual-teoretik dan empirik yang bersifat hipotetik
untuk menyelaraskan confidence (faktor
internal) dengan self-love (faktor
eksternal) yang ada dalam diri siswa, diarahkan bagi pencapaian Harga Diri yang
baik dan optimal sesuai norma yang berlaku di masyarakat tempat di mana siswa
tinggal.
Program
yang dikembangkan ini sifatnya descriptive – developmental melalui kurikulum bimbingan
yang khusus dijabarkan dari konsep Bush tentang Harga Diri. Pengembangan
program bimbingan bidang pribadi-sosial dalam penelitian ini merujuk pada buku Penataan Pendidikan
Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal yang dikeluarkan oleh Depdiknas 2007 khususnya pada bagian Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Sistematika pengembangan program itu sendiri mencakup: (1) rasional; (2)
visi dan misi; (3) deskripsi kebutuhan; (4) tujuan program; (5) komponen
program; (6) rencana operasional; (7) pengembangan tema/topik; (8) pengembangan
satuan pelayanan; (9) evaluasi; dan (10) anggaran.
D.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini secara umum
bertujuan memperoleh program bimbingan bidang pribadi-sosial
untuk meningkatkan harga diri siswa kelas
VIII SMP Negeri 43 Bandung. Secara
detail tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini meliputi hal-hal
berikut.
1.
Mengetahui profil harga diri siswa kelas VIII
SMP Negeri 43 Bandung tahun ajaran 2009/2010.
2.
Memperoleh gambaran
implementasi program kegiatan layanan bimbingan pribadi-sosial yang telah ada
selama ini di SMP Negeri 43 Bandung khususnya bagi pengembangan harga diri
siswa.
3.
Memperolah program bimbingan bidang pribadi-sosial
untuk meningkatan harga diri siswa kelas VIII
SMP Negeri 43 Bandung tahun ajaran 2009/2010.
E.
Signifikansi
dan Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat dalam dua kerangka berikut.
Manfaat teoritis.
Penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan deskriptif tentang perkembangan
harga
diri pada remaja secara konseptual berbasis data, dan memperkaya jenis program
bimbingan bidang sosial-pribadi khususnya yang diarahkan untuk meningkatkan
Harga diri siswa secara umum.
Manfaat praktis.
Hasil penelitian ini dasarnya memiliki dua produk, yaitu: (1) program bimbingan
bidang sosial-pribadi untuk meningkatkan Harga diri siswa; dan (2) data
deskriptif tentang kondisi objektif harga diri siswa pada sekolah yang menjadi tempat
penelitian. Diharapkan kedua hal ini dapat menjadi bermanfaat pada beberapa
konteks kepentingan berikut.
1.
Bagi konselor, program yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk
memberikan wawasan, pengertian, pemahaman, dan pengembangan perilaku yang lebih
positif pada siswa SMP dalam konteks harga diri, khususnya yang diarahkan kaitannya guna
pencapaian salah satu kompetensi kemandirian siswa, yakni (1) masalah pengembangan
diri: mempelajari keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial (pengenalan),
menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya (akomodasi),
dan menampilkan keunikan diri secara harmonis dalam keragaman; serta (2) kesadaran
gender: berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran.
2.
Bagi kepala sekolah,
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan bagi kebijakan
sekolah, terutama dalam rangka mengembangkan harga diri
positif siswanya melalui pemberian fasilitas, wewenang dan dukungan yang
memadai kepada konselor di sekolahnya, untuk mengembangkan dan menjalankan
program bimbingan yang diorientasikan pada kepentingan siswa, dalam hal ini
adalah Harga diri positif yang dikoneksikan dengan peningkatan prestasi
akademik para siswa.
Ketiga, untuk
peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khazanah
ilmu psikologi remaja dan ilmu bimbingan dan konseling khususnya berkaitan
dengan kajian teoretik-konseptual tentang harga diri terutama pada remaja dan pengembangan
intervensi perilaku melalui program bimbingan bidang sosial-pribadi untuk
meningkatkan Harga diri siswa SMP.
F.
Asumsi Penelitian
Berikut beberapa anggapan dasar yang melandasi dilaksanakannya
penelitian ini.
1.
Seorang
remaja yang memiliki harga diri rendah akan cenderung merasa bahwa dirinya
tidak mampu dan tidak berharga (Suherman, 2008).
2.
Seorang remaja yang
memiliki harga diri yang cukup positif, dia akan yakin dapat mencapai prestasi
yang dia dan orang lain harapkan (Tambunan, 2001).
3.
Perkembangan
harga diri individu dapat dicermati
sejak dini melalui pengukuran yang
tepat.
4.
Jika kegiatan layanan
bimbingan dan konseling ingin berlangsung efektif dan efisien, maka program
yang dikembangkan harus didasarkan pada kebutuhan nyata dan kondisi objektif
perkembangan peserta didik (Kartadinata dalam Juntika & Yusuf, 2001).
G.
Kajian
Teoretik
1.
Perkembangan
Psikologis Remaja
Istilah remaja
sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial dan fisik (Hurlock, 1998). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock,
1998) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana
anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar.
a.
Pengertian dan Makna Masa Remaja
Kata remaja berasal
dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity
(Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang
remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai
periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan
Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit
melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut
Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Fase remaja merupakan masa perkembangan individu
yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja
merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang
yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger
berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin
dapat merupakan the best of time and
the worst of time.
Para ahli umumnya sepakat bahwa rentangan masa remaja berlangsung dari usia
11-13 tahun sampai dengan 18-20 th (Abin Syamsuddin, 2003). Pada rentangan
periode ini (sekitar 6 – 7 th) terdapat beberapa indikator perbedaan yang
signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para
ahli mengklasikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian yaitu: (1) remaja
awal (11-13 th s.d.14-15 th); dan (2)
remaja akhir (14-16 th s.d.18-20 th).
Ditemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang
masa remaja :
1)
Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang
mempunyai bentuk yang definitif.
2)
Charlotte Buhler
menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.
3)
Spranger
memberikan tafsiran masa remaja sebagai
masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.
4)
Hofmann menafsirkan
masa remaja sebagai suatu masa pembentukan
sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.
5)
G. Stanley Hall
menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan).
Masa remaja adalah
suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara
fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa
remaja.
1)
Peningkatan emosional yang terjadi secara
cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm &
stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama
hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan
emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda
dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan
pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti
anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan
tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak
jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
2)
Perubahan yang cepat
secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini
membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri.
Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti
sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal
seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh
terhadap konsep diri remaja.
3)
Perubahan dalam hal
yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja
banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak
digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga
dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka
remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang
lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja
tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,
tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4)
Perubahan nilai, dimana
apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting
karena sudah mendekati dewasa.
5)
Kebanyakan remaja
bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka
menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab
yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk
memikul tanggung jawab tersebut.
b.
Problema pada Masa Remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai
perubahan, baik secara fisik maupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema
tertentu bagi si remaja. pabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan
pengarahan diri secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan
kenakalan remaja dan kriminal.
Problema yang
mungkin timbul pada masa remaja diantaranya :
1)
Problema berkaitan
dengan perkembangan fisik dan motorik.
Pada masa remaja ditandai dengan adanya pertumbuhan
fisik yang cepat. Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal
yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya
(ketidaksesuaian antara body image
dengan self picture) dapat menimbulkan
rasa tidak puas dan kurang percaya diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang
tidak proporsional. Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh
norma-norma dapat menjurus pada penyimpangan perilaku seksual.
2)
Problema berkaitan
dengan perkembangan kognitif dan bahasa.
Pada masa remaja awal ditandai dengan perkembangan
kemampuan intelektual yang pesat. Namun ketika, si remaja tidak mendapatkan kesempatan pengembangan kemampuan
intelektual, terutama melalui pendidikan di sekolah, maka boleh jadi potensi
intelektualnya tidak akan berkembang optimal. Begitu juga masa remaja, terutama
remaja awal merupakan masa terbaik untuk mengenal dan mendalami bahasa asing.
Namun dikarenakan keterbatasan kesempatan dan sarana dan pra sarana,
menyebabkan si remaja kesulitan untuk menguasai bahasa asing. Tidak bisa
dipungkiri, dalam era globalisasi sekarang ini, penguasaan bahasa asing
merupakan hal yang penting untuk menunjang kesuksesan hidup dan karier seseorang.
Namun dengan adanya hambatan dalam pengembangan ketidakmampuan berbahasa asing
tentunya akan sedikit-banyak berpengaruh terhadap kesuksesan hidup dan
kariernya. Terhambatnya perkembangan kognitif dan bahasa dapat berakibat pula
pada aspek emosional, sosial, dan aspek-aspek
perilaku dan kepribadian lainnya.
3)
Problema berkaitan
dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan.
Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang
ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan
kelompok sebayanya (peer group).
Penolakan dari peer group dapat
menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri (http://www.aguschandra.com/search/dasar-filosofispem belajaran-bahasa indonesia-di-sd-kelas-rendah/).
Namun sebaliknya
apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan
memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya
terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua
dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada
masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya
keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya
sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara
ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai
pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika
tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial
dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan
untuk mencoba-coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan
berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
4)
Problema berkaitan
dengan perkembangan kepribadian, dan emosional.
Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan
identitas diri (self identity). Usaha
pencarian identitas pun, banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku
coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan
identitas dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga mungkin
saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri
yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang
masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia
menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang
yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi
akibat dari ketidakstabilan emosinya.
Selain yang telah dipaparkan di atas, tentunya masih
banyak problema keremajaan lainnya. Timbulnya problema remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
internal maupun eksternal. Agar remaja
dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan problema kiranya diperlukan
kearifan dari semua pihak. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja
menjadi amat penting. Dalam hal ini, peranan orang tua, sekolah, serta masyarakat sangat diharapkan.
c.
Tugas
perkembangan remaja
Tugas perkembangan
remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
a.
Mencapai hubungan yang
lebih matang dengan teman sebaya.
b.
Mencapai peran sosial
sebagai pria atau wanita.
c.
Menerima keadaan fisik
dan menggunakannya secara efektif.
d.
Mencapai kemandirian
emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
e.
Mencapai jaminan
kemandirian ekonomi.
f.
Memilih dan mempersiapkan
karier.
g.
Mempersiapkan
pernikahan dan hidup berkeluarga.
h.
Mengembangkan
keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
i.
Mencapai perilaku yang
bertanggung jawab secara sosial.
j.
Memperoleh seperangkat
nilai sistem etika sebagai petunjuk/ pembimbing dalam berperilaku.
Erikson (1968, dalam
Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah
menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam
tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini
bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang
dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di
masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan
krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya
dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada
akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan
menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.
2.
Konsep
Harga Diri
a.
Pengertian
Harga Diri
Harga diri merupakan
salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar
terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith (dikutip dalam Burn, 1998)
mengatakan bahwa : “Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan
kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi
besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan,
keberhargaan”. Secara singkat, harga diri adalah “Personal judgment”
mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap
individu terhadap dirinya”.
Stuart dan Sundeen
(1991), mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil
yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya.
Dapat disimpulkan bahwa harga diri menggambarkan sejauhmana individu tersebut
menilai dirinya sebagai orang yang memeiliki kemampuan, keberartian, berharga,
dan kompeten.
b.
Karakteristik Harga
Diri
Menurut Coopersmith
(dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa karakteristik, yaitu : (a)
harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum; (b) harga diri bervariasi dalam
berbagai pengalaman; dan (c) evaluasi diri. Individu yang memiliki harga diri
tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya, percaya diri, puas
dengan karakter dan kemampuan diri dan individu yang memiliki harga diri
rendah, akan menunjukkan perhargaan buruk terhadap dirinya sehingga tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Stuart dan Sundeen, 1991 dan
Keliat, 1995).
c.
Pembentukan Harga Diri
Harga diri mulai
terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan
berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara
minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada
orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan
pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri.
Hal ini akan membentuk
penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan
menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga
diri (Burn, 1998). Harga diri mengandung pengertian”siapa dan apa diri saya”.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian
berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam
diri individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi
dimana proses ini dapat menguji . individu, yang memperlihatkan standar
dan nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.
d.
Aspek-Aspek dalam Harga
Diri
Coopersmith (1998)
membagi harga diri kedalam empat aspek:
1)
Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk
mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya
pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.
2)
Keberatian (significance)
Adanya kepedulian,
penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.
3)
Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti
standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku
yang tidak diperbolehkan.
4)
Kemampuan (competence)
Sukses memenuhi
tuntutan prestasi.
Penelitian ini
menggunakan konstruk yang dikembangkan dari konsep Harga Diri dari Bush
(Suherman, 2008). Berikut adalah definisi dan keterangan lainnya berkaitan
dengan dimensi dan aspek-aspek pembangunnya.
Harga diri (self-esteem) siswa dibatasi
sebagai keselarasan antara rasa percaya diri (confidence) yang bersumber
dari kualitas total individu, dengan dorongan untuk mencintai diri (self-love)
yang bersumber dari pandangan (instrumental) lingkungan.
Secara spesifik, harga diri siswa merupakan
keselarasan antara kualitas keyakinan dan kenyamanan (confidence:
bersifat intrinsik) siswa terhadap penampilan (appearance), kemampuan (ability),
serta kekuasaan (power) dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungan;
dengan akumulasi dorongan untuk mengasihi, menghargai dan menyayangi diri
sendiri (self-love: bersifat ekstrinsik/instrumental) yang bersumber
dari penghargaan sosial (social rewards), perasaan adanya hubungan
dengan sumber-sumber kebanggaan yang dialami orang lain (vicarious sources),
dan moralitas (morality).
Operasionalisasi variabel di atas secara rinci
berdasarkan aspek pembangunnya dijelaskan sebagai berikut.
1) Aspek rasa pecaya diri (confidence), yaitu kualitas keyakinan serta kenyamanan individu terhadap penampilan (appearance), kemampuan (ability), dan kekuasaan (power) dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, aspek ini terdiri dari tiga sub-aspek berikut.
a)
Penampilan (appearance),
yaitu ciri fisik individu (physical features) yang dianggap dapat
memunculkan ketertarikan atau menarik (attractiveness) untuk
diperlihatkan atau dibanggakan kepada orang lain. Sub-aspek ini indikatornya
memiliki hal-hal berikut.
(1)
Tinggi badan yang ideal
(2)
Wajah yang rupawan
(cantik atau tampan)
(3)
Berat badan yang ideal
(4)
Warna kulit yang kuning
langsat
(5)
Mata yang indah bersih
bersinar
(6)
Suara yang lembut
(wanita) dan atau berwibawa (pria)
(7)
Rambut yang hitam dan
lurus
(8)
Pakaian yang rapi dan
atau gaul
b)
Kemampuan (ability),
yaitu kapabilitas individu (individual capabilities) yang diyakini
memberikan pengaruh (memiliki kemanjuran/efficacy) terhadap
keberhasilan. Sub-aspek ini indikatornya memiliki hal-hal berikut.
(1)
Kecerdasan (Inteligence)
yang tinggi
(2)
Bakat (talents)
yang mendukung
(3)
Keterampilan hasil
belajar yang berdaya guna (skill)
(4)
Kepandaian dalam
melakukan suatu pekerjaan (performance/kinerja)
c)
Kekuasaan (power),
yaitu daya/kekuatan diri yang dimiliki individu untuk mengontrol individu lain,
peristiwa, dan atau situasi lingkungan (to control people and event).
Sub-aspek ini indikatornya memiliki hal-hal berikut.
(1)
Dominasi terhadap
individu lain (dominance), dalam bentuk paksaan (coercion),
kompetisi (competition), dan kepemimpinan (leadership)
(2)
Status sosial yang
tinggi (social status)
(3)
Kondisi ekonomi (money/uang)
yang berlimpah
(4)
Kekuatan mengubah
lingkungan (environmental affectance)
2)
Mencintai diri (self-love),
yaitu akumulasi dorongan untuk mengasihi, menghargai, dan menyayangi diri
sendiri yang bersumber dari penghargaan sosial (social rewards),
perasaan adanya hubungan dengan sumber-sumber kebanggaan yang dialami orang
lain (vicarious sources), dan moralitas (morality). Oleh karena
itu, aspek ini terdiri dari tiga sub-aspek berikut.
a)
Penghargaan sosial (social
rewards), yaitu apresiasi lingkungan sosial terhadap individu yang
diwujudkan melalui kasih sayang (affection), pujian (praise), dan
penghormatan (respect) sehingga individu tersebut merasa dirinya berharga.
Sub-aspek ini indikatornya memiliki hal-hal berikut.
(1)
Perasaan dikasihi dan
disayangi (affection)
(2)
Perasaan bangga karena
dipuji/pujian (praise)
(3)
Perasaan dihormati (respected)
b)
Sumber rasa bangga dari
orang lain yang seolah-oleh dialami sendiri (vicarious sources), yaitu
instrumental input di luar diri individu yang mendorong munculnya perasaan
berharga pada diri. Sub-aspek ini indikatornya memiliki hal-hal berikut.
(1)
Perasaan memiliki
hubungan dengan kesenangan/kemenangan orang lain (basking in reflected glory)
(2)
Pantulan/cerminan (reflection)
yang menimbulkan rasa bangga dari membandingkan (comparison) antara diri
dengan orang lain.
(3)
Kepemilikan yang
mendalam terhadap suatu benda sehingga menjadi kebanggaan karena dianggap
menggambarkan/ merefleksikan dirinya sendiri (possession).
c)
Moralitas (morality),
yaitu kesusilaan yang mendeskripsikan kepatutan; pantas atau tidak; baik atau
buruk menurut pandangan diri dan lingkungan. Sub-aspek ini indikatornya
memiliki hal-hal berikut.
(1)
Perlakuan yang adil dan
jujur (fair and honest) terhadap orang lain
(2)
Perilaku mementingkan
kepentingan orang lain (altruism/ keinginan untuk menolong orang lain
secara tulus)
(3)
Sikap keberagamaan (religiosity);
perilaku yang menjadi kebanggan atau penghargaan terhadap diri karena berhubungan
dengan penilaian Tuhan.
e.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Harga Diri
Faktor-faktor yang
melatarbelakangi harga diri yaitu : (a) pengalaman; (b) pola asuh; (c)
lingkungan; dan (d) sosial ekonomi (Coopersmith, dalam Burn, 1998). Pengalaman
merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah
dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup
individu. (Yusuf, 2000).
Pola asuh merupakan
sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya yang meliputi cara
orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatiannya serta
tanggapan terhadap anaknya (Shochih, 1998).
Lingkungan memberikan
dampak besar kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan
orangtua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman
dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya (Yusuf, 2000). Sosial
ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi
dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada
kebutuhan hidup seharihari (Ali dan Asrori, 2004).
f.
Hambatan dalam
Perkembangan Harga Diri
Menurut Dariuszky
(2004) yang menghambat perkembangan harga diri adalah : Perasaan takut , yaitu
kekhawatiran atau ketakutan (fear). Dalam kehidupan sehari-hari individu
harus menempatkan diri di tengah-tengah realita. Ada yang menghadapi
fakta-fakta kehidupan dengan penuh kebenaran, akan tetapi ada juga yang
menghadapinya dengan perasaan tidak berdaya. Ini adalah tanggapan negatif
terhadap diri, sehingga sekitarnya pun merupakan sesuatu yang negatif bagi
dirinya.
Tanggapan ini
menjadikan individu selalu hidup dalam ketakutan yang akan mempengaruhi seluruh
alam perasaannya sehingga terjadi keguncangan dalam keseimbangan kepribadian,
yaitu suatu keadaan emosi yang labil. Maka dalam keadaan tersebut individu
tidak berpikir secara wajar, jalan pikirannya palsu, dan segala sesuatu yang
diluar diri yang dipersepsikan secara salah.
Dengan demikian
tindakan-tindakannya menjadi tidak adekuat sebab diarahkan untuk kekurangan
dirinya. Keadaan ini lama kelamaan tidak dapat dipertahankan lagi, yang
akhirnya akan menimbulkan kecemasan, sehingga jelaslah bahwa keadaan ini akan
berpengaruh pada perkembangan harga dirinya.
Perasaan salah yang
pertama dimiliki oleh individu yang mempunyai pegangan hidup berdasarkan
kesadaran dan keyakinan diri, atau dengan kata lain individu sendiri telah
menentukan kriteria mengenai mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
Perasaan salah yang
kedua adalah merasa salah terhadap ketakutan, seperti umpamanya orangtua.
Keadaan ini kemudian terlihat dalam bentuk kecemasan yang merupakan unsur
penghambat bagi perkembangan kepercayaan akan diri sendiri.
g.
Harga Diri Remaja
Menurut Flemming &
Courtney (1984) dalam Frey (1994) mengemukakan bahwa harga diri pada remaja
dibagi menjadi lima aspek, yaitu:
1)
Perasaan ingin
dihormati, yaitu perasaan ingin diterima oleh orang lain, perasaan ingin
dihargai, didukung, diperhatikan, dan merasa diri berguna.
2)
Percaya diri dalam
bersosialisasi, yaitu merasa percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain,
baik baru dikenal maupun baru dikenal.
3)
Kemampuan akademik,
yaitu sukses memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu
dalam mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar.
4)
Penampilan fisik, yaitu
kemampuan merasa diri punya kelebihan, merasa diri menarik, dan merasa percaya
diri.
5)
Kemampuan fisik, yaitu
mampu melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berprestasi dalam hal
kemampuan fisik.
Terdapat beberapa cara
untuk meningkatkan harga diri pada remaja, seperti yang dikemukakan oleh
Dariuszky (2004), yaitu :
1)
Berikan perhatian
secara pribadi disaat mereka membutuhkan. Mendengarkan perkataannya dengan seksama,
tetap menatapnya dan memperlihatkan bahwa kita memahami apa yang dirasakannya.
Dengarkan tanpa memberikan penilaian dan tidak perlu mengkomentarinya.
2)
Perlihatkan kasih
sayang dalam bentuk ucapan maupun tindakan;, dengan tersenyum hangat dan
berikan sentuhan.
3)
Berikan pujian secara
spesifik dengan memberitahukan bahwa kita menyukai apa yang dilakukannya.
4)
Jelaskan apa yang baik
dan tidak baik dari ucapannya maupun tindakannya.
5)
Lakukan sesuatu yang
khusus supaya dapat memuaskan kebutuhan atau memintanya dalam hal tertentu.
6)
Jelaskan dan tegaskan
bakat istimewa yang dimilikinya.
7)
Hargai prestasi baiknya
mulai dari yang sederhana dengan senyum dan pujian.
3.
Ragam
Layanan Komponen Program BK di Sekolah
Setelah munculnya struktur program pada kurikulum 1984,
yang terdiri atas program inti dan program pilihan, serta dicantumkannya
bimbingan pada Undang-Undang Sistem
Pendidikan No. 2 tahun 1990 yang disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
No. 28 dan 29 Tahun 1990, dan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006, bimbingan
dan konseling ditempatkan sebagai suatu layanan pendidikan yang harus diperoleh
semua peserta
didik untuk membantu mereka dalam mengarahkan perencanaan masa depannya sesuai
dengan tujuan pendidikan secara umum, dan institusi sekolah pada khususnya,
sehingga keberadaan bimbingan dan konseling bukan merupakan kegiatan insidental yang diada-adakan tetapi sebagai konsekuensi
logis dari undang-undang tentang Sisdiknas. Sehubungan dengan keharusan itu,
maka pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik harus
menekankan kepada semua aspek kebutuhan peserta didik, baik yang berkenaan
dengan aspak pribadi, sosial, akademik, karier, maupun nilai. Kelima aspek tersebut harus terangkum ke dalam empat
layanan pokok bimbingan dan konseling, yaitu (Muro & Kottman, 1996;
Suherman, 2007).
a.
Layanan dasar, yaitu aspek layanan yang berorientasi keseluruh peserta didik dan
menyangkut seluruh aspek perkembangan kehidupan peserta didik.
b.
Perencanaan individual, yaitu langkah bantuan untuk membantu memilih dan
memutuskan masa depannya baik yang berkenaan dengan pribadi sosial, pendidikan
maupun karier secara umum.
c.
Layanan responsif, yaitu langkah yang berupa bantuan khusus untuk
menangani kesulitan-kesulitan siswa dalam memilih dan membuat keputusan yang
tepat, etis, dan harmonis dalam kehidupannya.
d.
Dukungan sistem, yaitu langkah yang bertujuan untuk mendukung aktivitas bimbingan dan
konseling, baik berkenaan dengan sistem pelayanan, personel, maupun fasilitas
lain yang diperlukan.
Keempat komponen di atas dikenal dengan mengacu kepada bimbingan konseling perkembangan. Proses
bimbingan dan konseling perkembangan meliputi empat komponen program,
yaitu layanan dasar, layanan responsif,
layanan perencanaan individual, dan dukungan sistem.
Layanan Dasar Bimbingan. Layanan ini
merupakan layanan bantuan bagi seluruh anak melalui kegiatan-kegiatan kelas
atau di luar kelas yang disajikan secara sistematis dalam rangka memabantu anak
mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Layanan ini
bertujuan untuk membantu semua anak agar memperoleh perkembangan yang normal,
memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya. Tujuan
layanan ini dapat dirumuskan sebagai upaya membantu anak agar:
(1) memiliki kesadaran dan pemahaman tentang diri dan lingkungannya; (2)
mampu mengembangkan keterampilan untuk mengindentifikasi tanggung jawab atau
seperangkat tingkah laku yang memadai bagi penyesuaian diri dengan
lingkungannya; (3) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, dan
(4) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.
Layanan Responsif. Layanan responsif merupakan layanan bantuan bagi anak yang memiliki
kebutuhan atau masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera (immediate
needs and concerns). Layanan ini bertujuan untuk membantu anak dalam
memenuhi kebutuhannya yang dirasakan
pada saat ini atau anak yang dipandang mengalami hambatan (kegagalan) dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
Indikator dari kegagalan itu berupa ketidakmampuan untuk menyesuaikan
diri atau perilaku bermasalah, atau malasuai (maladjusment).
Layanan Perencanaan Individual. Layanan perencanaan individual dapat
diartikan sebagai layanan bantuan kepada semua anak agar mampu membuat dan
melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan
kelemahan dirinya. Tujuan layanan ini adalah membantu anak membuat dan mengimplementasikan
rencana-rencana pendidikan dan sosial pribadinya. Membantu anak memantau dan memahami
pertumbuhan dan perkembangan sendiri kemudian merencanakan dan
mengimplemen-tasikan rencana-rencana itu sesuai dengan pemantauan dan
pemahamannya itu.
Dukungan Sistem (system support). Ketiga komponen program di atas, merupakan pemberian
layanan BK kepada anak secara
langsung. Sedangkan dukungan sistem
merupakan komponen program yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada
anak atau memfasilitasi kelancaran perkembangan peserta didik. Dukungan sistem adalah
kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan
program bimbingan dan konseling secara menyeluruh melalui pengembangan
profesional; hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf
ahli/penasehat, masyarakat yang lebih luas; manajemen program; penelitian dan
pengembangan. Program ini memberikan dukungan kepada guru
pembimbing dalam rangka memperlancar
penyelenggaraan ketiga program layanan di atas.
Sedangkan bagi personel pendidikan lainnya adalah untuk memperlancar
penyelenggaraan program pendidikan di sekolah.
H.
Metode
Penelitian
1.
Metode, Pendekatan dan Disain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan sifatnya
deskriptif-pengembangan (Sevilla, et. al., 1993: 81-84). Deskriptif karena penelitian ini mendeskripsikan atau menjelaskan kondisi
objektif dari peristiwa dan kejadian yang
ada pada masa sekarang. Kondisi yang dimaksud adalah harga diri siswa kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung. Sebagaimana dijelaskan Sudjana & Ibrahim
(1989: 52) bahwa metode penelitian
deskriptif digunakan apabila bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan
peristiwa dan kejadian yang ada pada masa sekarang.
Masalah penelitian yang
tepat dikaji melalui metode deskriptif biasanya berkenaan dengan bagaimana
kondisi, proses, karakteristik, dan hasil dari suatu variabel. Hasil dan
kesimpulan dari penelitian deskriptif pada umumnya hanya mendeskripsikan konsep
dan variabel yang diteliti, mendeskripsikan perbedaan konsep dan variabel, atau
menghubungkan variabel yang satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini variabel yang dideskripsikan
adalah Harga diri siswa.
Kemudian metode yang
sifatnya pengembangan digunakan karena pada akhirnya deskripsi yang diperoleh
dari pengambilan data lapangan tentang Harga Diri siswa, merupakan dasar bagi
pengembangan program bimbingan bidang sosial-pribadi dalam rangka meningkatkan
Harga Diri siswa – ke arah yang lebih positif, terutama hubungannya dengan
optimalisasi prestasi akademik siswa.
Dari segi pendekatan analisis
dan pengumpulan data digunakan pendekatan gabungan (mix method) antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif
(Sugiyono, 2006). Penggunaan pendekatan kuantitatif dikarenakan data-data serta
sumber data dijaring melalui proses kuantifikasi antribut psikologis melalui
kuisioner khususnya yang dikembangkan secara standar memenuhi validitas dan
reliabilitasnya, selain juga karena perhitungan analisis data yang menggunakan
teknik-teknik statistik. Pendekatan
kualitatif digunakan karena pada proses pengumpulan data menggunakan teknik
wawancaran dan studi dokumentasi yang analisis datanya juga menggunakan teknik cross-cheque triangulasi data. Berdasarkan metode, pendekatan
kemudian rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka disain penelitian yang
akan dijalankan akan tampak seperti gambar 1.
Gambar 1. Disain Penelitian
2.
Instumen Penelitian
Ada dua data utama yang ingin diperoleh pada penelitian
ini, yaitu data tentang profil harga diri siswa dengan data profil
penyelenggaraan program kegiatan bimbingan yang telah ada kaitannya dengan
harga diri. Untuk yang disebutkan pertama alat ukur disediakan dengan
mengembangkan sendiri secara baku berdasarkan konstruk yang diperoleh hasil
kajian teoretik dengan kriterian valid pada nilai korelasi item-total p <
0,05 sedangkan indeks reliabilitasnya r > 0,70 (Sugiyono, 2006). Kemudian
untuk data yang kedua dijaring melalui wawancara dan studi dokumentasi melalui
pengembangan pedoman khusus berdasarkan konstruk program yang dikemukakan buku
panduan dari ABKIN dan Diknas (2007).
3.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung. Teknik sampling
yang digunakan adalah proportional-random
sampling (Sevilla, et. al., 2003) dengan cara mengambil 25% masing-masing
kelas yang ada pada kelas VIII SMP Negeri Bandung.
4.
Analisis Data
Analisis data menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif mencakup penormaan menggunakan skor ideal, standar deviasi, dan
kategorisasi persentase. Sedangkan untuk pendekatan kualitatif analisis data
dilakukan dengan melihat masukan dari judgmen pakar, uji keterbacaan model
program yang dikembangkan termasuk masukan terhadap alat ukur harga diri siswa
SMP melalui triangulasi data.
I.
Sistematika
Penulisan
Hasil penelitian
ini dilaporkan dalam wujud skripsi.
Skripsi yang dimaksud disusun
atas lima bab. Bab I Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian
dan sekilas tentang metode penelitian. Bab II Kajian Teoretik meliputi konsep perkembangan remaja,
konsep harga diri,
pengembangan program BK di sekolah,
dan beberapa penelitian terdahulu.
Bab III Metode
Penelitian mencakup definisi operasional variabel, populasi dan sampel
penelitian, persiapan, pelaksanaan dan analisis data penelitian. Sedangkan bab
IV tentang hasil dan pembahasan penelitian mencakup deskripsi dan uraian
bahasan hasil penelitian dan pengembangan program serta keterbatasannya. Bab V
Penutup meliputi simpulan dan rekomendasi.
J.
Agenda
Kegiatan Penelitian
Waktu penelitian adalah empat bulan terhitung
mulai bulan Februari sampai dengan Mei
2010. Urutan kegiatan beserta
jadwal pelaksanaannya disajikan pada tebel 1 sebagai berikut.
Tabel 1.
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No.
|
Nama Kegiatan
|
Pelaksanaan Bulan ke
|
||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||||||
01.
|
Persiapan
|
|||||||||
a.
|
Penyusunan,
penyerahan dan revisi proposal
|
*
|
||||||||
b.
|
Merumusan formula konsep harga diri siswa
|
*
|
||||||||
c.
|
Mengembangkan blue print konstruk instrumen
|
*
|
||||||||
d.
|
Judgement instrumen
|
*
|
||||||||
e.
|
Ujicoba instrumen dan revisi
|
*
|
||||||||
2.
|
Pelaksaan
|
|||||||||
a.
|
Mengumpulkan data dari siswa
|
*
|
||||||||
b.
|
Melakukan wawancara dan studi dokumentasi
|
*
|
||||||||
c.
|
Menyusun program
|
*
|
||||||||
d.
|
Melakukan validasi pakar dan praktisi sekaligus merevisi berdasarkan
masukan yang diperoleh
|
*
|
||||||||
3.
|
Penyusunan
Laporan Skripsi
dan Ujian
|
|||||||||
a.
|
Penyusunan
laporan hasil penelitian
|
*
|
||||||||
b.
|
Pengiriman
laporan hasil penelitian
|
*
|
||||||||
c.
|
Ujian
sidang
|
*
|
||||||||
K.
Daftar
Pustaka
Aaro, L.E. (1997).
Adolescent lifestyle. Dalam A. Baum, S. Newman J. Weinman, R. West and C.
McManus (Eds).
Ali, M & Asrori, M.
2004. Psikologi Remaja : Perkemnbangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi
Aksara.
Atkinson (1999). Pengantar
Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Azwar,
S. 1999. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Beyth-Marom, R.,
Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. (1993).
Perceived consequences of risky behaviors: Adults and adolescents. Journal of
Developmental Psychology, 29(3), 549-563
Bringham,
J.G. 1991. Social Psychology. New York: Harper Gillins Publisher Inc.
Burn, R.B (1993). Konsep
Diri : teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih bahasa oleh Eddy.
Jakarta: Arcan.
Coulhorn,
J.F., & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human
Relationship. New York: McGraw-Hill Publishing Company.
Cambridge Handbook of
Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge University Press, Cambridge.
Conger, J.J. (1991).
Adolescence and youth (4th ed). New York: Harper Collins
Dariuszky, G. 2004. Membangun
Harga Diri. Bandung : CV. Pionir Jaya.
Deaux, K.,F.C,and
Wrightman,L.S. (1993). Social psychology (6th ed.). California : Brooks / Cole
Publishing Company.
Direktorat Kesehatan
Jiwa Masyarakat (2001). Buku Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah &
Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa. Direproduksi oleh Proyek Peningkatan
Kesehatan Khusus APBD 2002.
Frey, D.C. (1994). Enhauching
Selg Esteem. USA: Accelerated Development Inc.
Gunarsa, S.D. (1988).
Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (1990).
Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Helmi,
F.A. 1995. Konsep dan Teknik Pengenalan Diri. Buletin Psikologi, 2.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock, E. B. (1973).
Adolescent development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha.
Hurlock, E. B. (1990).
Developmental psychology: a lifespan approach. Boston: McGraw-Hill.
Hurlock, E.B (1998). Perkembangan
Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta:
Erlangga.
Hurlock,
E.B. 1974. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Co. Ltd.
Kozier, B (1991). Fundamental
of Nursing : Concept, Process, and Practice. Fourth Edition. California :
Addison-Wesley Publishing Company.
Mappiare, A. (1992). Psikologi
Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Monks, F.J., Knoers, A.
M. P., Haditono, S. R. (1991) Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai
bagiannya (cetakan ke-7). Yogya: Gajah Mada University Press.
Mordoko,
E.W.H. 1994. Konsep Diri dan Komunikasi Interpersonal pada Remaja. Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Papalia, D E., Olds, S.
W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston:
McGraw-Hill
Pudigjogyanti, Clara.
R. 1995. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta : Arcan.
Poedjijogdjanti,
R.G. 1993. Konsep Diri dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Penelitian Unika Atmajaya.
Rice, F.P. (1990). The
adolescent development, relationship & culture (6th ed.). Boston: Ally
& Bacon
Rina,
Oktaviana. (2004). Hubungan Antara Harga Diri dengan Terhadap Ciri-ciri
Perkembangan Sekunder dengan Konsep Diri Remaja Putri SLTP 10 Yogyakarta.
Skripsi: Tidak diterbitkan
Stuart & Sundeen
(1998). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 6 th. Ed.
Philadelphia: The C V Mosby.
Santrock, J.W. (2001).
Adolescence (8th ed.). North America: McGraw-Hill.
_______.
1991. Adolocent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd.
_______.
1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Sarwono,
S.W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sulaeman,
D. 1995. Psikologi Remaja: Dimensi-Dimensi Perkembangan. Bandung: CV Mandar
Maju.
Suryabrata,
S. 1992. Hubungan Motivasi Agresi dan Konsep Diri dengan Prestasi Belajar
Siswa SMP
se-Jawa Tengah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
IKIP Yogyakarta.
Walgito,
B. 1993. Konsep Diri, Harga Diri dan Kepercayaan Diri Remaja. Jurnal
Psikologi, 2. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
1 komentar:
mint instrument sel estem
Posting Komentar